Tanah Kelahiran Saya Dicabik Perlahan oleh Tangan yang Seharusnya Melindungi

Bantuan datang lambat. Mitigasi setengah hati. Prioritas salah arah. Logistik macet. Warga menunggu di tengah ketakutan dan reruntuhan.

Oleh

Rizka Oktivani

Sumber Foto: Binsar Bakkara (AP Photo)
Sumber Foto: Binsar Bakkara (AP Photo)

Tanah Kelahiran Saya Dicabik Perlahan oleh Tangan yang Seharusnya Melindungi

Bantuan datang lambat. Mitigasi setengah hati. Prioritas salah arah. Logistik macet. Warga menunggu di tengah ketakutan dan reruntuhan.

Oleh

Rizka Oktivani

02/12/2025

Sumber Foto: Binsar Bakkara (AP Photo)

Saya masih ingat betul betapa bahagianya saya menjadi gadis kecil di tanah Sumatra. Pulau itu dulunya bukan hanya sekadar tempat tinggal. Ia adalah kontrak yang damai; sebuah janji bahwa alam akan menjaga kita, asalkan kita menghormati keteduhannya. 

Liburan ke kaki Bukit Barisan, berlari di tepian danau, menyelinap di antara pohon pinus; setiap sudut pulau itu menyimpan tawa, rahasia, dan kedamaian yang tak tergantikan. Alam di sana adalah teman, guru, benteng yang meneduhkan jiwa, mengajarkan saya tentang keseimbangan dan kekayaan sejati adalah ekosistem yang utuh dan tak ternilai.

Hari ini, tanah yang sama sedang menangis. Kini, sebagai perantau, saya terdampar di kota besar, sebuah kota yang saya curigai sebagai pusat komando yang menarik tuas kebijakan di seberang pulau, pusat keputusan yang membakar rumah kami sendiri.

Saya hanya bisa duduk terpaku, menatap layar ponsel, menahan amarah dan air mata mengalir. Banjir bandang menelan rumah, tanah longsor menutup jalan, lahar dingin menghantam desa. Empat kampung di Aceh lenyap tanpa jejak. Seorang ibu merangkak di tengah puing mencari anaknya. Seorang bapak menunaikan salat di jalan yang dipenuhi reruntuhan, tanpa alas sajadah. Potongan-potongan berita ini seperti belati yang menusuk dada, dan saya merasakan semua sakit itu bersamaan dengan mereka.

Ketika tragedi melanda, selalu ada narasi yang begitu naif diulang-ulang: Ini adalah bencana alam, seakan tragedi ini bukan urusan manusia. Padahal, pohon-pohon ditebang, izin destruktif lolos, hutan-hutan diubah menjadi perkebunan monokultur. Menyebut ini bencana alam hanyalah cara pengecut untuk menghapus jejak tangan manusia yang lalai dan serakah, lalu menggeser tanggung jawab ke takdir atau kuasa Ilahi. 

Pernyataan yang keliru bisa meruntuhkan kepercayaan publik; klarifikasi yang tulus tentang akar masalah, tentang siapa yang bertanggung jawab, mungkin bisa membuka jalan perbaikan. Tapi pertanyaannya tetap sama: apakah kita ingin negara yang baru belajar setelah dikritik brutal, atau negara yang peka sejak awal, sebelum semuanya hancur?

Narasi tentang “penjarahan” serta korban banjir dan longsor yang ditangkap seakan orang-orang yang panik mencari susu, air bersih, atau makanan menjadi kriminal. Kata itu menggerus empati publik, menutupi kemanusiaan korban, dan menggantinya dengan tuduhan yang salah arah. 

Sementara mereka yang seharusnya bertanggung jawab tampil sebagai “pahlawan kesiangan.” Seperti biasa, mereka mematahkan kaki kita, lalu memberi tongkat agar bisa berjalan. Lalu kita menyebut mereka pahlawan? 

Izin yang mereka tandatangani, keputusan yang mereka buat, semua ikut menumpukkan penderitaan. Bantuan datang lambat. Mitigasi setengah hati. Prioritas salah arah. Logistik macet. Warga menunggu di tengah ketakutan dan reruntuhan. Segala luka ini terasa seperti pengkhianatan yang berulang, tanah kelahiran saya dicabik perlahan oleh tangan yang seharusnya melindungi.

Saya, kamu, kita berhak marah. Pulau yang mengajarkan saya tentang cinta, tawa, dan kehidupan kini terluka parah. Sungai yang saya kenal, pohon pinus yang meneduhkan, semuanya seakan ikut meratap. 

Saya merindukan masa kecil saya; Sumatra yang teduh, utuh, dan aman. Doa dan bantuan sangat berarti, tapi yang paling saya rindukan adalah tanah yang bisa meneduhkan hati lagi, seperti ketika saya masih anak-anak, berlari di hutan dan di tepian danau, tanpa rasa takut, tanpa tangisan.

Sumatra berteriak. Jeritannya bukan hanya untuk mereka yang kehilangan rumah atau nyawa. Jeritannya adalah cermin bagi kita, anak-anaknya, manusia yang masih punya pilihan: untuk menuntut tanggung jawab, menghentikan tangan-tangan yang mencabik tanah ini, dan memperbaiki luka sebelum semuanya hilang selamanya.

Rizka Oktivani

Suka nulis ajah sih.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga