Saya sering mendengar dan membaca sebuah ungkapan yang terasa begitu menenangkan: Semua ini bukan salahmu. Ungkapan ini seolah mantra populer dalam psikologi modern, hadir sebagai dekapan verbal untuk kita yang sering kali memikul beban kesalahan, yang seharusnya tidak menjadi milik kita.
Namun, sisi lain dari koin ini jarang dibahas. Ada benang tak terlihat antara salah (fault) dan tanggung jawab (responsibility).
Kita tidak salah dilahirkan dalam keluarga yang tidak ideal. Kita tidak salah menjadi korban perundungan di sekolah. Kita tidak salah memiliki kondisi kesehatan mental yang berat. Ini berada di luar kuasa kita.
Begitu kita bilang, “Ini bukan salahku,” pertanyaan selanjutnya yang lebih penting adalah: “Lalu, apa tanggung jawabku sekarang?”
Di sinilah jebakan itu muncul. Banyak dari kita yang berhenti di poin pertama. Kita merasa cukup dengan melepaskan beban kesalahan, lalu menggunakan hal itu sebagai alasan untuk tidak bergerak maju. Ungkapan “bukan salahku” berubah menjadi “aku tidak perlu melakukan apa-apa.” Lingkaran setan ini menjebak kita dalam mentalitas korban yang pasif. Kita menyangkal bahwa, terlepas dari siapa yang salah, kita adalah satu-satunya orang yang memegang kendali atas apa yang akan kita lakukan selanjutnya.
Ambil contoh sederhana. Kamu mungkin tidak salah jika pasanganmu selingkuh, itu sepenuhnya kesalahan dia. Tapi, kamu punya tanggung jawab untuk memulihkan hati, mengambil keputusan untuk hubunganmu, dan menjaga kesehatan mentalmu sendiri. Menyalahkan pasanganmu adalah hal yang wajar, tapi fokus kepada siapa yang salah tidak akan membuka pintu pemulihan.
Dan lebih dari itu, ada satu poin yang lebih sulit untuk diterima, namun sangat vital untuk pertumbuhan: ada kalanya, kita memang bersalah.
Terkadang, kamu adalah bagian dari masalah. Terkadang, keputusanmu yang salah yang menimbulkan konsekuensi buruk. Mungkin kamu bersalah karena tidak mendengarkan, lalai, atau sengaja menyakiti orang lain. Mengakui ini memang menyakitkan. Butuh introspeksi yang jujur dan keberanian untuk menghadapi sisi gelap diri. Di lain sisi, mungkin ini langkah pertama untuk menjadi versi terbaik diri. Tanpa pengakuan, tidak akan ada perbaikan, tidak akan ada pertumbuhan yang bermakna.
Kebebasan memang hal yang utopis. Tapi, mungkin sedekat-dekatnya kita terhadap kebebasan adalah keberanian untuk mengambil alih kendali atas hidup sehingga lepas dari jerat ilusi bahwa kita selalu benar.
Bacaan lebih lanjut:
- Lancer, D. 2018. “The Difference Between Blame and Responsibility”. Psychology Today.
- Manson, M. 2018. “It’s Not Your Fault, But It Is Your Responsibility”. MarkManson.net.
- Snyder, C. R., & Lopez, S. J. 2007. Positive Psychology: The Scientific and Practical Explorations of Human Strengths. SAGE Publications.