Bencana ekologis di Sumatra adalah bentuk pantulan dari cermin ekosistem yang retak.
Alam sekali lagi menunjukan secara jujur kondisi tubuhnya yang rusak. Hutan yang tak henti ditebang, isi bumi yang terus ditambang, dan tanah gundul yang akhirnya terpaksa menahan lebih banyak air hujan dari yang ia mampu. Hari ini, kita menjadi bagian dari rantai ekosistem yang rusak.
Hujan tak bisa sepenuhnya disalahkan. Ia adalah bagian dari siklus alam yang turun untuk mencari jalannya. Mengaliri sungai, menyinggahi lekuk lanskap hutan, jatuh di antara akar-akar yang menyerapnya sebagai sumber penghidupan. Namun kali ini, hujan kehilangan tempat pulangnya. Sungai tak selebar dahulu, akar-akar mati membusuk.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, di rentang waktu 2016–2025 ada sekitar 1,4 juta hektare hutan hilang di ketiga provinsi yakni Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara akibat aktivitas perkebunan, tambang, dan proyek besar sehingga Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis banyak hilang perlindungannya. Ekosistem kita telah dilukai akibat eksploitasi manusia mulai dari penebangan, alih fungsi lahan, dan aktivitas pertambangan yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Realita ini kini menjadi pengingat bahwa operasi perusahaan dan kehadiran kebijakan yang mengizinkan oknum yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan menjadi konsekuensi nyata atas kerusakan ekosistem yang mencelakai orang-orang yang tak bersalah.
Tata ruang yang permisif, izin alih fungsi lahan tanpa evaluasi risiko, hingga penegakan hukum yang lemah menjadi bentuk introspeksi bagi pemegang kebijakan.
Pentingnya empati, perhatian terhadap lingkungan, dan aktivitas yang tak dilandasi keserakahan untuk keuntungan semata menjadi kompas moral untuk korporasi dan pengambil kebijakan.
Banjir Sumatra adalah konsekuensi dari rangkaian kegagalan:
1. Gagal merumuskan kebijakan
2. Gagal dalam pengawasan
3. Gagal membaca daya dukung lingkungan akibat proyek-proyek eksploitatif
Dampaknya amat serius. Masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam, dipaksa menanggung akibatnya. Para pelaku, tak serta didera derita.
Akhirnya, bencana bukan lagi menjadi kejutan, tapi sebuah keniscayaan.
Dari pantulan cermin retaknya ekosistem, kita kembali diingatkan bahwa manusia adalah sutradara yang merancang masa depan sebuah ekosistem. Setiap garis keputusan, perumusan kebijakan, dan praktik di lapangan akan memberi dampak pada alur hidup alam dan manusia.
Retaknya ekosistem akan membuka celah pintu kiamat ekologis yang lebih besar. Pada akhirnya, alam menyimpan ingatan atas setiap keputusan ekologis yang diambil.
Saat ini, mari saling menguatkan perjuangan satu sama lain. Jarak tidak lagi menjadi pembatas, terus kirimkan doa dan bantuan untuk saudara-saudara kita di Sumatra. Pada masa sulit ini, semoga selalu tabah dan dikuatkan.