Relaksasi di Rumah Sendiri

Saatnya rumah menjadi tempat paling aman untuk melakukan relaksasi tubuh dan pikiran.

Oleh

Dzulfikri Putra Malawi

Relaksasi di Rumah Sendiri

Saatnya rumah menjadi tempat paling aman untuk melakukan relaksasi tubuh dan pikiran.

Oleh

Dzulfikri Putra Malawi

22/09/2025

Minggu pagi yang lalu begitu cerah setelah sehari sebelumnya seharian Jakarta diguyur hujan. Niat hati untuk bisa tidur lebih lama usai solat subuh kandas. Kicau burung di halaman belakang keburu ramai dan begitu nyaring. Sementara anak-anak dan ibunya berhasil terlelap kembali. Santai saja dengan kicau yang bersahutan itu.

Agar tak mati gaya, saya ambil buku novel penulis Italia yang sedang tanggung dibaca. Sudah berapa minggu tak kelar-kelar. Ceritanya bagus, perspektif nenek untuk cucunya. Dari kisah-kisahnya, memantik saya untuk menulis juga.

Usai dapat satu tulisan, pikirku langsung tertuju pada vespa di garasi yang entah sudah berapa bulan tidak pernah kutunggangi lagi. Sepertinya ini waktu yang pas untuk sunmori. Bangunkan satu anak, yang tengah atau yang bungsu, biar bisa berdiri di depan, dan berharap dapat difoto di tikungan Moestopo.

Sambil menunggu salah satu dari mereka bangun, saya ambil lap untuk bersih-bersih debu yang mulai menebal. Sambil sesekali tes menyelah. Alhamdulillah nyala.

Udara pagi yang segar dan cahaya matahari yang cukup mentereng membawa kehangatan. Rasanya sudah lama sekali tidak merasakan seperti ini. Rindu menyeruak di atas vespa.

Minggu-minggu sebelumnya, tak terasa hingga berbulan-bulan ke belakang lamanya. Saya–dan bisa jadi kalian–hanya terus memendam angan-angan untuk bisa dapat menikmati Minggu pagi dengan santai.

Melihat teman-teman yang bisa begitu mudah melakukan aktivitas-aktivitas yang menggembirakan. Rasanya ingin juga seperti itu. Tanpa kita tahu bagaimana pengorbanan mereka untuk merealisasikan. Rumput tetangga lebih hijau kata orang-orang.

Daripada sibuk membandingkan, ini waktunya kita fokus dengan diri kita. Entah sudah terhitung berapa banyak membatin, “Minggu depan saya pasti santai,” itu diucap.

Ikhtiar untuk pekerjaan sudah biasa. Tapi ikhtiar untuk dapat melambat dan santai bukan suatu hal yang lumrah dilakukan. Egois dicapnya. Padahal kita sebagai individu perlu self-reward. “Ah klasik, ini pasti akal-akalan montir buat nyantai-nyantai gak produktif,” batinku meletup.

Selalu ada waktu dan tenaga yang dicurahkan dan hasil yang didapatkan. Utamanya buat keluarga. Buat rumah dengan segala isi dan keperluannya. “Tapi jika ada itu semua dan kita tidak bisa menikmatinya, lantas untuk apa?” Pikirku sejurus kemudian.

Apakah ini yang namanya risiko menjadi dewasa? Tidak ada ruang lagi untuk bersantai sejenak menikmati kursi halaman belakang yang padanya disertai semilir angin dengan wangi uap kopi panas dan matahari pagi yang mulai meninggi. Satu seruput panjang. Menghela napas perlahan sebentar. Tengok sekitar. Muncul bayangan tawa, tangis, lalu lalang percakapan hingga perdebatan yang berganti-ganti sekelebat. Lalu direspons dengan senyum getir sendiri.

Rasanya sepagian ini jam bergerak sangat lambat. Imajinasi sudah menembus berlapis-lapis ragam peristiwa dan khayalan. Ada indahnya, ada juga tragisnya. Paket lengkap untuk sebuah lamunan yang di dalamnya juga tebersit banyak kejemuan-kejemuan yang harus kita tanggung sendiri sebagai seorang pekerja.

Berada sampai di titik ini. Aduh, rasanya hal yang mustahil. Biarpun sebelumnya sudah ada rencana matang untuk menata masa depan. Ternyata menikmati hari ini adalah hal yang lebih esensial dari semua perjalanan hidup yang telah dilalui. Melambat. Rehat. Nikmati.

Benar kata orang tua dulu, kebahagian itu harus diperjuangkan. Kini, ketika dewasa, bahkan bersama keluarga yang kita bangun sendiri. Menjadi merdeka di hari Minggu dan di rumah sendiri agaknya perlu menjadi langkah advokasi yang bisa dilakukan kepada anak istri. Barangkali mereka justru bisa ikut menikmati. Akan lebih indah tentunya.

Ini bukan soal pencapaian semata. Tujuannya hanya satu; relaksasi. Saatnya rumah menjadi tempat paling aman untuk melakukan relaksasi tubuh dan pikiran. Istri dan anak-anak perlahan kita ajak untuk dapat menyesuaikan keinginan. Apa salahnya satu dari enam hari lainnya kita menangkan untuk bersantai? Di rumah, bukan di mana-mana. Dari teras belakang, ke meja makan, hingga berlabuh di sofa living room. Bila memungkinkan, gas sunmori ajak anak istri.

Saatnya kita memanjakan seluruh indera kita untuk dapat menikmati aroma rumah. Dari kayu-kayu furniture, bantal-bantal sofa, hingga sisa-sisa air cucian. Sebab, hidup tenang adalah ambisi terbesar manusia, dari era Mussolini hingga saat ini.

Berdiam dirilah, tetap hening ditemani segala hal dan memori yang sudah ada di rumah kita. Dengarkan hati kita baik-baik. Ketika ia sudah mulai berbisik, mulailah beranjak untuk pergi, mengikuti kata hati membawa ke mana. Seperti yang saya lakukan pagi ini, membawa turut serta anak tengah dan bungsu keliling naik vespa.

Dzulfikri Putra Malawi

Seorang praktisi media, jurnalis, dan penulis yang sangat antusias dalam mengembangkan strategi komunikasi yang berdampak dengan mengorkestrasi ide-ide untuk kebutuhan audiens dan media. Ia aktif terlibat dalam industri musik bersama Wara Musika (Story Telling Music Agency) yang didirikannya tahun 2018. Ia juga menulis buku “LOKANANTA” secara kolektif.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga