Ada perbedaan mendasar antara merasa bebas dan diizinkan bebas.
Saya baru menyadari betapa pentingnya perbedaan itu saat membaca kabar pengesahan UU KUHAP, tepat hari ini. Bukan bunyi pasal-pasal di Gedung Dewan yang paling mengganggu, melainkan efek psikologisnya: hukum yang seharusnya menjadi pagar pelindung bagi kita, kini terasa seperti teleskop yang diarahkan negara ke setiap jendela kehidupan pribadi.
Setiap hari, kita mengetik, mengkritik, mengeluh–soal kemacetan Jakarta, soal kebijakan, atau soal janji politik. Kita anggap ini sebagai hak mendasar. Namun, UU KUHAP yang baru ini sedang menghitung ulang biaya dari setiap scroll dan postingan kita.
Saya baru saja mentertawakan meme politik konyol di grup chat. Seketika, saya teringat. Saya harus segera menghapusnya. Bukan karena meme tersebut melanggar hukum, melainkan karena saya tau kebebasan untuk berbuat konyol dan ceroboh sedang ditarik mundur. Hukum acara pidana yang seharusnya menjadi perisai, kini terasa transparan, diganti dengan perangkat yang dirancang untuk memperluas kewenangan mencurigai.
Rasanya, reformasi hukum ini membebani kita dengan satu hal yang paling melelahkan: keharusan untuk selalu waspada secara berlebihan, bahkan di ruang paling pribadi.
Perluasan Zona Penjebakan, Lalu di Manakah Batas Kita?
Kita ambil skenario terburuk: Aparat menduga unggahan saya di media sosial punya potensi masalah. Berdasarkan Pasal 5 UU KUHAP, penyelidik kini memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan, penggeledahan, bahkan penahanan atas perintah Penyidik, padahal tindak pidana belum terkonfirmasi.
Artinya, saya ditahan, handphone disita, bukan karena saya terbukti bersalah, tetapi karena aparat sedang mencari tau. Pasal ini merampas hak dasar kita untuk merasa aman. Hukum yang seharusnya melindungi, kini bisa menangkap kita atas dasar potensi.
Urgensi ini diperkuat oleh Pasal 16 yang melegalkan operasi undercover buy dan controlled delivery untuk semua jenis tindak pidana tanpa pengawasan hakim. Ini membuka peluang penjebakan (entrapment); aparat bisa menciptakan situasi kejahatan untuk merekayasa pelakunya.
Kita tidak lagi khawatir soal kejahatan besar, tetapi khawatir soal kejahatan kecil yang bisa diciptakan dari kesalahan atau selip lidah diri sendiri.
Keadilan yang Tawar dan Kewenangan Tak Terbatas
Ketidakjelasan ini menciptakan beban psikologis. Frasa-frasa karet, seperti penahanan bisa dilakukan jika kita dianggap menghambat proses pemeriksaan, memaksa kita untuk berperforma konstan. Kita harus hati-hati, harus ramah, dan harus patuh secara berlebihan, karena frasa di atas tadi bisa dijadikan pembenaran subjektif untuk perampasan kemerdekaan.
Di sisi lain, keadilan pemulihan (restorative justice) di Pasal 74 juga terasa seperti jebakan. Mekanisme damai ini dikritik karena kewenangannya terlalu besar di tangan penyidik tanpa pengawasan. Bagi korban, ini bisa berarti pemaksaan damai agar perkara selesai cepat. Keadilan menjadi tawar, hanya bisa diraih oleh mereka yang punya modal tawar-menawar dan akses hukum yang kuat.
Puncaknya adalah konsentrasi kekuasaan (Pasal 7 dan 8) yang menempatkan semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bawah komando Polri. Ini adalah simtom paling berbahaya: ketika kekuasaan hukum dikumpulkan di satu tangan, siapa yang akan mengawasi?
Reformasi yang kita dambakan, yang seharusnya menjauhkan kita dari bayang-bayang rezim lama, justru terasa seperti membawa kembali pola pikir otoriter dengan kemasan yang lebih modern dan legal.
Membayar Harga Kemerdekaan
UU KUHAP yang baru ini adalah cerminan ironis: Ia berjanji akan memberikan perlindungan, tetapi secara simultan, ia menanamkan benih kecurigaan dan ketidakberdayaan yang mendalam.
Bagi warga biasa seperti saya, ini bukan lagi soal pasal. Ini adalah soal beban mental untuk selalu membuktikan bahwa kita tidak salah. Di tengah ketidakpastian ini, harga rasa aman menjadi semakin mahal dan semakin sulit dibayar.