Merawat Nirempati di Tengah Bencana

Bantuan itu bukan kemurahan hati, tetapi mandat konstitusional, hak masyarakat terdampak bencana.

Oleh

Dzulfikri Putra Malawi

Merawat Nirempati di Tengah Bencana

Bantuan itu bukan kemurahan hati, tetapi mandat konstitusional, hak masyarakat terdampak bencana.

Oleh

Dzulfikri Putra Malawi

03/12/2025

Enam belas tahun yang lalu, saya dan teman kelompok sejurusan Jurnalistik ditugaskan meliput bencana. Jebolnya tanggul Situ Gintung. Dengan semangat, kami bergegas dari Bandung selang satu hari bencana melanda. Di kepala kami, tujuannya hanya satu; paket berita yang bagus dan humanis, menyentuh hati pokoknya.

Setelah disadari, rasanya konyol betul. Saya menyesal sejadi-jadinya hingga saat ini. Tak ada bekal pemahaman tentang bagaimana menghadapi korban yang sedang menangisi anaknya yang hilang sambil menyeka sisa lembar foto yang tertimbun lumpur. Saya dekati dan saya lakukan wawancara. Di mana empati saya? Apakah perasaan saya telah dibutakan oleh misi mendapatkan kisah pilu?

Saya masih ingat betul ekspresi ibu itu. Dia melihat saya dengan tatapan nanar. Air matanya masih menggenang di kelopak. Kerak tangisnya masih menempel di pipi. Tangannya tetap terus menyeka lumpur di foto keluarga. Saat itu saya dan teman-teman bukan jurnalis profesional. Memiliki kartu pers cetakan sendiri, bukan berarti sedang bertugas resmi.

Saat itu seharusnya kami berani untuk berargumen dengan dosen yang memberikan kami tugas. Seharusnya kami memilih objek lain. Tapi sayangnya saat itu yang kami pahami adalah tidak membantah dosen dan dapat mengerjakan tugasnya jadi sebuah pencapaian yang baik.

Kini saya paham, persoalan empati kita memang sebegitu sistematisnya untuk tidak menjadi sensitif lagi karena banyak pencapaian individu yang dianggap lebih penting dari segalanya. Membuktikan kita bisa menaklukkan sebuah tugas dan dilihat sebagai seorang yang berhasil di mata pemberi tugas.

Di Sumatra, para pejabat dan wakil rakyat juga menunjukkan hal yang sama; nirempati. Ada yang menggunakan rompi taktis dan selfie-selfie sampai yang memanggul beras dikawal ajudan-ajudan. Lalu ada juga yang menyepelekan besarnya dampak bencana. Padahal ia dianggap yang paling berwenang untuk menangani situasi yang ada. Lebih gongnya lagi seorang kepala daerah yang mengusulkan jabatan presiden seumur hidup. Di depan presidennya langsung. Sayangnya, semua terjadi di tengah bencana besar. Menyisakan sakit hati mendalam untuk kemanusiaan.

Deretan kejadian tersebut mempertontonkan bagaimana nirempati begitu nyata. Dari sudut pandang seorang wakil rakyat tersebut, mungkin hal yang biasa ketika menghadapi masyarakat. Dan dipukul rata perlakuannya. Ia tumbuh dengan perlakukan selebritas. Wakil rakyat, politisi, dan presiden pun masyarakat yang memilih.

Sebabnya, jangan buru-buru dihujat. Karena pada kenyataannya kita semua ikut menguatkan “panggung sosial politik” mereka. Lewat peran kultural, psikologis, dan struktural yang membuat praktik “korban sebagai komoditas politik dan lain-lainnya” terus langgeng sampai saat ini.

Semuanya terjadi secara sistemik. Budaya kita terbiasa untuk menerima citra pemimpin yang merakyat, gestur kedekatan, hadir secara fisik, dan memberi secara langsung. Makin nyaman kalau sudah diajak salaman, ngobrol, dan dirangkul. Kita lupa akar masalah dan luput untuk menuntut. 

Kita jarang sekali mempertanyakan. Apa sebab musabab bencana alam? Bagaimana tindak lanjutnya? Bagaimana kebijakan strukturalnya? Mengapa terus berulang? Apakah anggaran dikelola baik? Sementara kita yang menyaksikan di media sosial geram dan seketika menghujat. Menuntut di mana empati mereka.

Gagapnya kita dalam membedakan aksi substantif dan aksi performatif membuat panggung politik terus hidup. Kita sering tidak sadar bahwa bantuan itu bukan kemurahan hati, tetapi mandat konstitusional yang berhak didapatkan oleh masyarakat terdampak bencana. Maka tak heran bila masyarakat yang menganggap bantuan sebagai “kebaikan”, bukan “kewajiban negara”. Di situlah politisi dengan gamblangnya menjadikan momen ini konten simpatik.

Masyarakat juga tidak bisa disalahkan, sebab kita dibuat terbiasa untuk tidak membaca kebijakan, tidak memahami anggaran bencana, dan tidak kritis pada framing media. Semua berakar pada sistem yang tidak pernah membuat masyarakat dapat teredukasi dengan baik. Kelelahan masyarakat tentang politik justru membuat panggung politik menjadi sangat strategis dan tidak tersentuh kritik.

Banyak masyarakat merasa politik terlalu penuh konflik, janji terlalu sering tidak ditepati, korupsi terlalu rutin diberitakan, dinamika elite terlalu jauh dari realitas hidup mereka. Kelelahan politik (political fatigue) akhirnya membuat masyarakat menghindari diskusi politik, tidak mau memperdalam isu substansi, lebih fokus pada kebutuhan harian yang lebih konkret, dan lebih mudah menerima gestur simbolik sebagai pengganti kerja struktural.

Dengan kata lain, masyarakat butuh kepastian cepat, bukan janji besar yang jauh dan abstrak. Hasilnya, ketika politisi datang di tengah bencana walaupun nirempati tetap disambut antusias karena begitu terasa nyata, bisa dilihat langsung membantu, dan tidak perlu repot menganalisis. Kelelahan politik membuat masyarakat puas pada gestur, bukan struktur.

Korban terdampak sering kali berhenti pada rasa syukur. Kita sudah biasa berucap, “masih untung dikasih selamet” sehingga tekanan masyarakat terhadap perubahan sistemik melemah. 

Politisi sering menggunakan bencana sebagai panggung politik. Sayangnya panggung itu sering dihiasi dengan tingkah-tingkah nirempati. 

Dan sialnya, tanpa kita sadari, kita adalah bagian yang turut melanggengkannya dengan budaya patronasi dan preferensi masyarakat terhadap simbol dibanding substansi.

Dzulfikri Putra Malawi

Seorang praktisi media, jurnalis, dan penulis yang sangat antusias dalam mengembangkan strategi komunikasi yang berdampak dengan mengorkestrasi ide-ide untuk kebutuhan audiens dan media. Ia aktif terlibat dalam industri musik bersama Wara Musika (Story Telling Music Agency) yang didirikannya tahun 2018. Ia juga menulis buku “LOKANANTA” secara kolektif.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga