Mencintai Negara yang Tidak Mencintai Kita

Sejarah demonstrasi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari jalanan. Jalan adalah tempat cinta rakyat diuji: cinta yang keras kepala, berani menantang kekuasaan.

Oleh

Adam A. Abednego

Mencintai Negara yang Tidak Mencintai Kita

Sejarah demonstrasi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari jalanan. Jalan adalah tempat cinta rakyat diuji: cinta yang keras kepala, berani menantang kekuasaan.

Oleh

Adam A. Abednego

02/09/2025

Di tengah barikade aparat, Bu Ana dengan jilbab pink maju ke depan. Tubuhnya yang kecil melangkah dengan menggenggam bendera merah putih, suaranya melawan dentuman tameng yang dipukulkan berulang-ulang. Potretnya dengan cepat menjelma simbol baru: keberanian rakyat kecil yang menolak bungkam.

Di tengah riuh itu pula, linimasa dipenuhi satu nama: Affan Kurniawan. Seorang pengemudi ojek daring, 21 tahun, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob. Affan anak muda yang menjadi tulang punggung keluarganya, bekerja mencari nafkah. Tubuhnya yang remuk di aspal kini menjadi wajah luka kolektif, pengingat pahit bahwa cinta sehari-hari kepada negara bisa berujung kehilangan nyawa.

Hari itu, dua warna bertemu di jalanan. Pink menjelma simbol perlawanan, keberanian Ibu Ana menantang barikade. Hijau menghadirkan harapan dan solidaritas, serta luka: seorang dari kita, Affan Kurniawan, tidak akan pernah pulang.

Simbol-simbol itu lalu hidup kembali dalam daftar 17+8 tuntutan rakyat yang beredar. Pink dan hijau menghiasi media sosial, jauh lebih lantang dibanding aksi pejabat-pejabat yang hobi berjoget di atas penderitaan rakyat. Ketika orang membagikan template tuntutan dengan latar pink dan hijau, mereka tak hanya membagikan daftar poin. Mereka sedang mengikat diri pada perasaan kolektif yang lahir dari jalanan. Mereka menuliskan cintanya pada negara dengan warna-warna yang diambil dari tubuh rakyat itu sendiri.

Namun, cinta rakyat pada negara tak jarang dibalas dengan kekerasan. Gas air mata ditembakkan, meninggalkan ratusan luka, tangkapan, dan trauma. Negara yang mestinya melindungi justru menghadirkan rasa takut. Inilah paradoks yang terus berulang: rakyat mencintai negara dengan cara paling sederhana–bekerja, membayar pajak, belajar, merawat keluarga. Dan ketika cinta itu ditolak, ia tetap mencari jalannya sendiri. Dari jalan raya, ia berpindah ke linimasa. Pink dan hijau, di layar ponsel, menjadi bahasa bersama. Estetika digital mengubah cinta yang bertepuk sebelah tangan menjadi cinta kolektif.

Sejarah demonstrasi di Indonesia tak bisa dilepaskan dari jalanan. Jalan adalah tempat cinta rakyat diuji: cinta yang keras kepala, berani menantang kekuasaan. Tapi hari ini, jalanan hanya separuh medan. Separuh lainnya hidup di linimasa. Dari sana, kontrak sosial baru dirumuskan lewat Google Docs & Canva.

Mencintai negara yang tak mencintai kita memang terasa seperti hubungan toksik. Kita memberi, ia melukai. Kita datang, ia mengusir. Kita menjerit, ia menutup telinga. Namun cinta rakyat berbeda. Ia cinta yang tak mudah menyerah. Ia keras kepala, karena di tanah inilah kita berakar. Pink dan hijau adalah buktinya.

Cinta pada negara tak selalu lembut & romantis. Kadang ia berwujud orasi lantang seorang ibu di depan barikade polisi. Kadang ia berwujud pengorbanan seorang pengemudi ojol muda yang terkapar di aspal. Dan barangkali, justru inilah cinta yang paling tulus: cinta yang berani menuntut, cinta yang berani marah, cinta yang berani melawan. Mencintai negara tak berarti tunduk pada semua lukanya. Mencintai negara berarti berani menuntutnya untuk berubah.

17+8 tuntutan rakyat lebih dari sebatas daftar poin politik. Ia adalah surat cinta–cinta keras kepala yang tak mau lagi dipermainkan. Pink dan hijau menjadi bahasa baru, menjembatani keberanian dan harapan, luka dan solidaritas.

Mencintai negara yang tidak mencintai kita bukan berarti pasrah, melainkan dengan lantang berani berkata:

aku tetap tinggal, tapi aku tidak akan diam.

Adam A. Abednego

Penulis & pembaca yang sedang belajar mendengar.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga