Manipulasi Whataboutism di Sekitar Kita

Menyerang balik sebagai bentuk pertahanan terbaik.

Oleh

Yudhistira

Manipulasi Whataboutism di Sekitar Kita

Menyerang balik sebagai bentuk pertahanan terbaik.

Oleh

Yudhistira

08/08/2025

Lah kamu juga!

Apa pun konteksnya, pernah dengar jawaban tersebut? Atau jangan-jangan, kita juga sering melontarkannya.

Whataboutism adalah taktik manipulatif yang sering digunakan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama yang sedang dibahas. Perilaku ini sangat efektif membuat kita melupakan inti permasalahan dan terjebak dalam perdebatan yang tidak relevan.

Ketika seseorang menggunakan whataboutism, dia merespons kritik atau tuduhan dengan balik bertanya atau menunjuk kesalahan atau kekurangan pihak lain, sering kali tanpa mempertimbangkan relevansi perbandingan tersebut. Tujuannya bukan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, melainkan untuk membela diri dengan menyerang balik, mengubah fokus, atau bahkan memvalidasi tindakan yang dipertanyakan dengan alasan bahwa orang lain juga melakukan hal serupa atau lebih buruk.

Misalnya, jika seseorang dikritik karena melakukan kesalahan, respons whataboutism bisa jadi, “Bagaimana dengan kesalahan yang kamu lakukan kemarin?” atau “Mengapa kamu tidak mengkritik mereka yang melakukan hal serupa?” Alih-alih mengakui kesalahan atau membahas inti masalah, perhatian dialihkan pada kekurangan orang lain.

Fenomena ini sering terlihat dalam diskusi politik, media sosial, dan bahkan dalam percakapan sehari-hari. Efeknya adalah mengaburkan fakta, menciptakan kebingungan, dan pada akhirnya menghambat penyelesaian masalah karena energi terkuras untuk membahas perbandingan yang tidak relevan daripada mencari solusi atas masalah yang ada.

Contoh whataboutism di percakapan keseharian:

“Kamu semalem bohong ya sama aku?”

“Lah kamu juga sering bohong sama aku!”

Padahal harusnya jawab dulu pertanyaan yang satu. Selesakan, baru pindah ke kebiasaan bohong yang mungkin pernah dilakukan.

Contoh lainnya adalah counter attack seperti ini:

“Aku ngerasa nggak didengerin deh sama kamu.”

“Ya itu juga yang aku rasain, nggak pernah kamu dengerin aku.”

Beberapa orang melihat diskusi dan debat sebagai kompetisi yang harus dimenangkan, apa pun caranya. Pokoknya lawan harus kalah, dasar argumen jadi tidak penting.

Contoh lain whataboutism adalah membenarkan masalah dengan masalah. “Iya alkohol nggak sehat. Tapi gorengan kan juga nggak sehat?” Tidak selalu ditemukan dalam dialog, whataboutism juga bisa tecermin dari satu pertanyaan atau pernyataan seseorang. Masalah lain diangkat supaya masalah pertama tidak jadi masalah. Seolah-olah, karena gorengan tidak sehat, alkohol jadi sehat. Cara paling gampang buat menjelaskan whataboutism: Two wrongs don’t make a right, but a whataboutism can make it seem like they do.

Prinsip dasarnya adalah menyerang balik sebagai bentuk pertahanan terbaik dan mengangkat masalah kedua untuk menimbun masalah pertama. Taktik ini sering digunakan untuk menghindari tanggung jawab atau membenarkan tindakan tertentu dengan menunjukkan bahwa pihak lain juga melakukan kesalahan serupa atau lebih buruk. Kita perlu belajar untuk tidak menerapkannya sebab menggunakan whataboutism dalam argumen atau diskusi hanya akan mengaburkan inti masalah, menghambat komunikasi yang efektif, dan sering kali menciptakan lingkaran setan saling menyalahkan tanpa ada penyelesaian. Terlebih, jika menggunakan whataboutism, berarti kita tidak mampu menghadapi kritik secara konstruktif.

Kemudian, penting juga untuk perlahan mengingatkan orang lain ketika mereka memanipulasi kita dengan whataboutism. Kita bisa bilang, “Aku paham poin kamu tentang masalah itu, tapi kita fokus dulu yuk sama isu yang lagi kita bicarain saat ini,” atau “Meskipun itu relevan, kita bahas satu per satu dulu ya.” Dengan demikian, kita dapat membantu menjaga diskusi tetap pada jalurnya dan mendorong pertukaran ide yang lebih substansial.

Bacaan lebih lanjut: 

Yudhistira

Orang biasa yang suka menulis.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga