Kita Semua Pembohong yang Terdidik dengan Baik

Jika saya memilih jujur tapi melukai, saya bukan dianggap berani, melainkan belum dewasa, tak peka, dan egois.

Oleh

Rizka Oktivani

Kita Semua Pembohong yang Terdidik dengan Baik

Jika saya memilih jujur tapi melukai, saya bukan dianggap berani, melainkan belum dewasa, tak peka, dan egois.

Oleh

Rizka Oktivani

08/11/2025

Ada momen-momen tertentu yang membuat saya merasa paling lelah. Bukan setelah tenggat pekerjaan yang padat, melainkan setelah interaksi sosial yang menuntut performa. Seperti saat harus berpura-pura antusias terhadap ambisi seseorang yang jelas tidak realistis, atau ketika harus tersenyum santai atas pertanyaan pribadi yang sebetulnya terlalu jauh menembus batas.

Saya baru sadar betapa mahal harga energi yang dikeluarkan hanya untuk menjaga agar roda sosial tetap berputar tanpa gesekan. Di dunia ini, kejujuran sering kali bukanlah kebajikan, melainkan bom waktu yang bisa meledakkan suasana. Kebenaran yang telanjang sering dihargai lebih rendah daripada kebohongan yang dibungkus rapi.

Lucunya, kita hidup di masyarakat yang lantang menyerukan transparansi, tapi diam-diam mengagumi mereka yang pandai menyembunyikan kenyataan. Kita semua berlatih menjadi aktor: berpura-pura antusias di rapat membosankan, memalsukan senyum saat menerima hadiah yang tidak disukai, dan berpura-pura baik-baik saja agar tidak dianggap beban bagi orang lain.

Namun di tengah semua kepalsuan yang kita rawat–atau mungkin yang saya rawat–mengapa amarah itu justru membuncah saat kita yang dibohongi?

Ketika Etika Bertemu Kompromi
Secara moral, kita tau kebohongan adalah cacat. Jika ia dijadikan aturan universal, dunia akan runtuh. Begitulah logika etika yang rapi dan menenangkan. Tapi hidup jarang berjalan di ruang yang rapi. Kita hidup di wilayah abu-abu, tempat kejujuran dan kehati-hatian saling tarik-menarik.

Di titik ini, menyampaikan kebenaran yang brutal kadang jauh lebih merusak dibanding menutupinya dengan kebohongan yang lembut. Jika saya memilih jujur tapi melukai, saya bukan dianggap berani, melainkan belum dewasa, tak peka, dan egois. Maka, kita pun belajar kompromi: menjadi orang yang “pandai bersosialisasi”, tapi lelah karena terus memainkan peran.

Ketika Kebohongan Menjadi Soal Kendali 
Lalu mengapa saya tetap marah saat dibohongi? Mungkin karena kebohongan merampas kendali.

Saat saya yang berbohong, saya sutradaranya. Saya yang menentukan seberapa banyak kebenaran yang aman untuk dibagikan. Tapi ketika orang lain berbohong, kendali itu direbut. Rasa marah muncul bukan karena dustanya, tapi karena saya dijadikan objek manipulasi. Seolah kebohongan menyiratkan bahwa seseorang merasa berhak memutuskan apa yang layak saya ketahui dan apa yang tidak.

Kebohongan yang paling menyakitkan bukan yang berisi niat jahat, melainkan yang membuat kita merasa diremehkan.

Harmoni yang Palsu
Kita tidak selalu berbohong karena ingin menyakiti. Kadang, kita hanya tidak tau bagaimana menyampaikan kenyataan tanpa melukai. Kita belajar sejak kecil bahwa menjaga perasaan orang lain lebih penting daripada bersikap jujur. Hasilnya? Lahirlah harmoni sosial yang rapuh: tenang di permukaan, tapi penuh kepura-puraan di bawahnya.

Kebohongan yang kita tolak adalah kebohongan yang egois, yang memanfaatkan. Kebohongan yang kita praktikkan adalah kebohongan yang pragmatis, sekadar tameng agar hidup bisa berjalan tanpa konflik setiap saat.

Mungkin pada akhirnya, kita semua pembohong yang terdidik dengan baik. Dibesarkan untuk menjunjung kebenaran, tapi diajari cara berbohong agar bisa bertahan.

Lalu, Sampai Kapan?
Apakah satu-satunya kebenaran yang diterima adalah yang sudah disaring hingga tak lagi menyakitkan? Atau, apakah kelelahan ini memang harga yang harus kita bayar demi sebuah kedamaian sosial yang semu?

Atau mungkin, kamu punya cara lain untuk tetap jujur tanpa harus kehilangan kedamaian?

Rizka Oktivani

Suka nulis ajah sih.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga