Di kepala setiap orang, kita hidup dengan wajah yang berbeda. Beberapa mengenang kita sebagai seseorang yang paling lucu; tetapi ada pula yang setiap kali mendengar nama kita, menahan napas karena amarah yang belum padam. Di antara dua ingatan itu kita berdiri sebagai karakter yang bertentangan.
Beberapa waktu lalu, aku menemukan sebuah utas di Twitter (atau X). Seseorang me-quote retweet sebuah unggahan berisi beberapa wajah dan menulis, “Di antara mereka, ada orang yang dulu ngebully aku.” Ia lalu bercerita bagaimana orang itu membuat hidupnya di sekolah dulu begitu berantakan. Ceritanya viral, hingga orang yang dimaksud menghubunginya dan meminta maaf. Yang menarik, di akhir pesan itu tertulis: “Jujur aku lupa pernah melakukan itu. Tapi tanpa berusaha mencari pembelaan, aku sungguh minta maaf kalau pernah membuatmu merasa seperti itu.”
Aku membaca kalimat itu lama sekali. Barangkali aku pun pernah berada di sisi keduanya: menjadi orang yang menyimpan dendam, dan juga pernah melukai tanpa sadar. Kalau diminta mengingat kesalahan apa saja yang mungkin telah menyakiti orang lain, aku jelas gagal. Ingatan manusia punya cara misterius dalam mengarsip dan menata ulang kejadian. Kadang ia membuang bagian saat kita menyakiti, menyisakan versi lebih ramah terhadap diri sendiri. Di lain waktu, ingatan justru tak mampu melepaskan bagian yang pahit, lalu menyimpan dendam yang pelan-pelan menua di dalam dada. Dan di situlah aku sadar: mungkin dalam cerita hidup orang lain, aku adalah tokoh jahatnya.
Kita terbiasa menulis kisah hidup dari sudut yang paling gelap. Kita adalah korban dari keadaan, atau orang yang disalahpahami. Namun di luar sana, ada seseorang yang sedang berjuang memaafkan kita sepanjang hidupnya. Mungkin bagi mereka, kita adalah orang yang sering ghosting, yang kerap memotong pembicaraan, yang tak tau terima kasih, dan yang pernah membuat luka tanpa menyadarinya. Ada yang bilang setiap manusia adalah protagonis di film hidupnya masing-masing. Tapi tak ada film tanpa antagonis. Dan bisa jadi kita juga memainkan keduanya sekaligus, tanpa sadar berpindah-pindah peran di kehidupan orang lain. Kita menolong seseorang hari ini, lalu melukai yang lain esoknya. Kita mengira sedang berkata jujur, tapi bagi orang lain, itu perkataan yang menyakitkan. Kadang kita tak sengaja melukai karena takut disakiti duluan. Kadang kita memilih pergi karena percaya itu satu-satunya cara untuk tetap hidup dan melindungi diri. Tapi membuat alasan atau pembelaan, sebaik apa pun, tak selalu bisa menebus dampak yang diakibatkan.
Barangkali menjadi dewasa tak melulu mesti mengerti segalanya, melainkan menerima bahwa kita tak akan pernah sepenuhnya dimengerti–sebagaimana kita juga tak akan pernah benar-benar memahami orang lain. Di tiap-tiap cerita, selalu ada versi diri kita yang tak menyenangkan dan barangkali itu hal yang harus kita terima. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha sedikit lebih hati-hati saat melangkah dan sedikit lebih sadar dalam berperilaku. Sebab di antara nama-nama yang pernah kita sebut atau kita lupakan, selalu ada orang-orang yang mungkin masih menyimpan lukanya. Mungkin itu sebabnya kita perlu sesekali berhenti, menoleh ke belakang, dan bertanya dalam diam: adakah seseorang yang masih memanggil nama kita dengan penuh kebencian? Jika iya, semoga suatu hari nanti kita cukup berani untuk meminta maaf dan tak berusaha menutup telinga.