Langit terlalu gelap untuk hari yang masih sore. Perjalanan menuju JICC Senayan dari Panglima Polim memakan waktu kira-kira satu jam lebih. Begitulah Jakarta pada akhir pekan dengan hujan yang senantiasa mengintai.
Saya dan teman-teman Menjadi Manusia akhirnya sampai di IDEAFEST 2025. Tahun ini temanya “(Cult)ivate The Culture”. Yang ingin dirayakan: para kreator dan pemikir yang mempertanyakan status quo, menafsirkan ulang tradisi, dan membentuk narasi kolektif bahwa menumbuhkan budaya berarti memahami diri sendiri; atau, dalam siaran persnya, IDEAFEST 2025 “mengajak para pelaku kreatif untuk mengeksplorasi nilai-nilai budaya dan mengubahnya menjadi gerakan kolektif dalam mewariskan warisan budaya Indonesia di era modern.” Ratusan pembicara, sesi, serta market tenant dalam 3 hari penuh membuktikan IDEAFEST 2025 pada tahun ke-14 gelarannya betul-betul membawa ide sebagai selebrasi yang festive.
Sayangnya tidak ada yang mampu membelah diri untuk menghadiri seluruh sesi. Saya berkata demikian karena memang topik-topik yang dihadirkan cukup menantang untuk disimak–menantang dalam arti mengundang rasa penasaran. Contoh judul yang menyedot perhatian saya adalah “Peace Journalism in Socmed Era, Presented By Liputan6”, “From Passion to Profit: Turning Movement into Market Value”, dan “Stillness as Revolution: Rediscovering the Mindfulness of Nusantara, Presented By Myndfulact”.

Dua Co-Founder Menjadi Manusia, Rhaka Ghanisatria (The Brain) serta Adam A. Abednego (The Heart) turut mengisi sesi di IDEAFEST 2025. Pada Jumat, 31 Oktober, Adam berbicara tentang pengemasan konten digital dalam sesi “Stories That Move the Soul and Shape the Mind” bersama Dann Rizky (The University) dan Rivaldo Gere Gurky (Galfa Capital & Project.xo). Sementara itu, pada Sabtu, 1 November, Rhaka membahas homeless media dan perannya untuk memberikan pengaruh bermanfaat kepada khalayak lewat sesi “Reimagining Homeless Media: Beyond Virality, Toward Impact” bersama Wahyu Aji (GNFI), Hendi (USS Network), Ricky Silaen (Indozone Media), Lulu Bong (The Maple Media), Firdza Radiany (Pandemic Talks), Fanbul (Infipop), Tirta Prayudha (BigAlpha), Trivet Sembel (Volix Group), dan Dhanu Riza (Infipop).
Banyak sesi yang dilaksanakan di ruangan-ruangan yang tidak terlalu besar, menciptakan suasana yang intim dan dekat. Panggung hanya sebuah podium dan hampir tidak ada jarak yang signifikan antara pembicara dengan pendengar. Interaksi yang cair juga terjadi ketika Minutes of Manager bersama Menjadi Manusia menggelar wadah “Minutes of Manusia Mengeluh”. Sesi ini mengajak para pekerja untuk berbagi cerita, meluapkan emosi, dan meditasi bersama. Yang saya lihat, di balik banyaknya jabatan pekerjaan dan tuntutan sosial darinya, manusia tetaplah manusia: pasti merasakan capek, memendam cerita, dan butuh katarsis yang sehat. Maka, 150 orang lebih yang hadir–mereka datang dari beragam industri–saling berkenalan, merangkul, dan menguatkan dalam sesi “Minutes of Manusia Mengeluh”. Ada yang bercerita dan mengeluh sembari menitikkan air mata.

Saya bertemu seorang kawan di sesi itu, seorang senior di kampus. Kami satu jurusan, satu fakultas yang fokus mempelajari budaya. “Lo tinggal di mana sekarang?” Tanyanya. Saya jawab, “Jakarta Timur”. Dia mengangguk lalu menanggapi, “Oh iya lo udah married ya.”
Bertahun lamanya kami tidak bersua. Obrolan basa-basi yang awalnya cukup canggung itu akhirnya mengantarkan kami untuk membuat janji pertemuan berikutnya. IDEAFEST sebagai arena pertukaran ide ternyata juga menjadi tempat untuk berbagi lelah, bahkan mengenang pertemanan dan menyambung cerita yang dulu sempat terputus. Ketika hari makin malam, saya berjalan ke arah lobi. Kawan saya juga hendak pulang. Kami tos dan beranjak ke arah yang berbeda.
Film, musik, kuliner, media, olahraga, dan teknologi–cabang-cabang ini yang melatari sebagian besar diskusi di IDEAFEST 2025–tidak terpisah dari nilai-nilai budaya. Tentu saja, membicarakan budaya berarti juga membahas manusia-manusianya. Ia tidak lahir dari ruang kosong, tetapi muncul karena gesekan, obrolan, pertemuan, dan sebagainya. Berarti, kita juga perlu bertanya: bagaimana manusia hari ini? Apa yang mampu dilakukan sehingga budaya Indonesia bisa relevan? Atau mungkin, apa yang sudah tidak relevan lagi dan beranikah kita untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan saat ini?

Di luar, ternyata hujan masih turun. Ada yang sedang menunggu taksi online, beberapa orang duduk di lantai sambil merokok. Seseorang yang tadi menyimak sebuah sesi bersama saya tampak menunggu hujan dengan melamun, matanya terpaku ke jalanan yang basah. Mungkin dia sedang membayangkan langkah kreatif selanjutnya untuk karya yang sedang dikerjakan. Kayaknya banyak ya, mereka yang terinspirasi atau jadi tambah semangat karena satu atau dua sesi di acara ini, batin saya. Di sudut yang lain, segelintir orang bersila melingkar, mabar, dengan kopi starling dan selingan obrolan-obrolan ringan. Pertukaran pun juga bisa terjadi di momen-momen kecil seperti ini. Lagi pula, apalah arti sebuah ide dan nilai budaya jika manusianya ogah untuk duduk dan berbagi cerita; jika tak ada lagi yang mau mendengarkan dan menyalakan asa untuk satu sama lain.