Pagi ini seperti biasa, saya bangunkan anak untuk solat subuh. Walaupun tak tepat waktu, tak mengapa. Anak saya masih belajar solat.
Saya tawarkan dua opsi, mau diingatkan dengan cara pelan atau keras? Seketika dia jawab, “Bapak marah saja, aku dengerin, abis itu aku tidur lagi,” dan tidurlah dia sebelum saya ambil kedua cara yang tadi diajukan.
Seketika saya diam. Saya hanya tanya, “Butuh berapa menit lagi untuk siap bangun?”
“Lima menit,” jawabnya. Setelah itu dia bangun dan tepati janjinya.
Beda cerita kalau saya keras dan memaksanya untuk bangun. Pasti seharian dia akan uring-uringan. Kenyamanannya dan pikirannya terganggu. Saat itu juga, saya tanamkan kemarahan dan kebencian dalam dirinya.
Mengalami situasi ini, pikiran saya melayang pada kehidupan sehari-hari yang dijalani. Di lini pekerjaan, pertemanan, hingga akun-akun medsos. Seharusnya kita semua juga punya proses interaksi yang sama dengan apa yang saya alami bersama anak saya pagi ini.
Semua butuh proses. Dan kita dihadapkan pilihan cara atau sikap yang diambil dengan segala konsekuensinya.
Sangat disayangkan apabila mereka yang punya kapasitas untuk memengaruhi dan menggiring opini tidak bijak dalam merespons peristwa belakangan ini. Hal-hal populis dan berpotensi tinggi pembaca/pendengar selalu dilakukan dengan pendekatan penghakiman.
Baru-baru ini, belum 24 jam, Menkeu Purbaya langsung dihakimi tidak empati lantaran jawabannya atas tuntutan 17+8 yang bilang “… itu sebagian masyarakat saja …”. Langsung akun-akun medsos membingkai dirinya. Api-api dalam sekam kembali menyala.
Padahal kalau kita tahan dulu, cermati atau lakukan wawancara lebih lanjut, bisa jadi Purbaya memang tidak main medsos. Atau main, tapi tak terpapar algoritma karena yang ditonton urusan bengkel mobil atau kuliner misalnya–jika masih ada pikiran positif dalam diri kita.
Kenapa kita tidak sabar untuk memberi ruang? Sudah pasti jawabannya, puluhan tahun reformasi masih begini saja. Yah, baiklah. Kita memang sudah lelah untuk dikelabui. Tapi jika narasi pesimis selalu dibenturkan, maka yang berteriaklah yang paling merasa didengar. Lantas apakah kita otomatis mendapatkan manfaat dari perubahan secara langsung?
Tulisan ini tidak untuk berpihak dengan siapa pun. Hanya ingin coba berkontribusi menyalakan kembali nalar-hati kita. Karena dari gaya satire yang biasa saya tulis, masih banyak yang salah tafsir.
Simulakra. Begitu kata kolega saya. Daya konsumsi kita yang sangat tinggi lebih mementingkan representasi ketimbang realitas sesungguhnya. Ternak medsos adalah produknya. Fungsi media yang menjaga keseimbangan juga sudah luluh lantak bersaing algoritma dengan akun-akun medsos. Kerja-kerja jurnalis jadi sia-sia.
Jangan sampai warga pengguna medsos dijadikan komoditas mereka. Akses informasi yang luas seharusnya bisa menjadi bahan analisis kita. Siapa di balik akun tersebut, bagaimana sepak terjangnya, siapa saja jejaringnya, yang berujung pada siapa saja pemodalnya.
Kita harus pahami, saat ini adalah masa yang sama krusialnya dengan membangunkan anak di waktu subuh. Jika salah cara yang dipilih, dampak merusaknya akan besar.
Lir ilir, bangunlah dan terjagalah dari kelalaian.