Validasi emosional memang penting buat kesehatan mental diri. Tapi, jadi tidak sehat juga kalau kebanyakan mencari validasi dari orang lain.
Ada dua jenis validasi, yaitu validasi internal dan validasi eksternal. Validasi internal adalah cara kita untuk memvalidasi diri sendiri, entah itu soal perasaan, pendapat, dan penilaian. Di lain sisi, validasi eksternal datang dari orang lain untuk kita. Keduanya sama pentingnya.
Validasi Eksternal: Bara dalam Sekam
Tentu, kita semua membutuhkan dukungan positif dari lingkungan sekitar. Mendengar cerita kita didengarkan tanpa penghakiman adalah bentuk validasi atas perasaan yang sedang kita alami. Ini penting, terutama pada masa kanak-kanak. Anak kecil yang kekurangan validasi dari orang tuanya, misalnya, cenderung tumbuh menjadi pribadi yang cemas, sulit memercayai orang lain, dan memiliki rasa takut yang tinggi akan penolakan. Kebutuhan akan validasi tidak berhenti saat dewasa. Dalam hubungan personal, profesional, maupun sosial, validasi memberikan rasa aman dan diterima, yang esensial untuk kesehatan mental dan emosional.
Namun, terdapat perbedaan antara mencari validasi yang sehat dan terjebak dalam pencarian validasi berlebihan. Validasi yang sehat adalah ketika kita menerima dukungan dan pengakuan yang membangun dari orang-orang terdekat, yang memungkinkan kita untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini berbeda dengan ketergantungan ekstrem pada opini orang lain, yang justru dapat menghambat kemajuan pribadi. Ketika terus-menerus mencari validasi, kita cenderung mengabaikan intuisi dan kebutuhan diri sendiri karena prioritas utamanya adalah memenuhi ekspektasi atau mendapatkan persetujuan dari orang lain.
Pencarian validasi yang berlebihan dapat bermanifestasi dalam berbagai cara, seperti selalu ingin menyenangkan orang lain (people-pleasing), enggan mengambil risiko karena takut gagal dan dihakimi, atau terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Individu yang terjebak dalam pola ini berpotensi kesulitan membuat keputusan sendiri. Selalu menunggu lampu hijau atau pujian dari luar. Akibatnya, kita merasa terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan ketidakpuasan, mengingat kebahagiaan dan harga diri kita bergantung pada respons eksternal.
Di lain sisi, apabila terlalu banyak validasi di masa kecil, kecenderungan yang terjadi adalah kesulitan untuk membangun relasi sosial yang sehat. Ada rasa berhak yang juga condong tinggi. Potensinya ke arah narsis dan suka pamer. Bisa jadi, kita malah merasa bahwa segala sesuatu pantas kita dapatkan tanpa perlu berusaha keras. Pokoknya, pendapat dan keinginan kita harus jadi prioritas.
Dampak lainnya adalah merasa superior dan kurang berempati terhadap orang lain. Kita kesulitan menerima kritik atau kegagalan karena hal itu bertentangan dengan citra diri yang terlihat sempurna. Selain itu, kecenderungan untuk suka pamer juga bisa muncul sebagai upaya terus-menerus untuk mendapatkan perhatian dan kekaguman dari lingkungan sekitar, demi mempertahankan validasi yang telah terbiasa kita dapatkan.
Kebutuhan akan validasi eksternal berhubungan juga dengan perjalanan masa kecil. Tapi, bukan berarti kita tidak mungkin membangun habit demikian ketika dewasa lho ya.
Pada akhirnya, validasi eksternal memang dibutuhkan, selama berada pada porsi yang ideal. Kekurangan dan kelebihan validasi dapat mengundang bahayanya masing-masing.
Validasi Internal sebagai Salah Satu Solusi
Terus bagaimana caranya biar tidak haus validasi? Gini, coba fokus pada validasi internal. Hal ini bisa meredam kecenderungan untuk mencari validasi eksternal.
Praktikkan self-care atau merawat diri sebagai bentuk self-validate. Lebih dari sekadar memanjakan diri, ini adalah upaya sadar untuk menghargai keberadaan dan perasaan sendiri. Rasakan setiap emosi yang muncul dengan kesadaran penuh, baik itu suka, duka, marah, maupun kecewa. Jangan menekan atau mengabaikan perasaan tersebut. Biarkan mereka ada. Kita akui dan pahami mengapa perasaan itu muncul. Dengan begitu, kita akan lebih terhubung dengan diri sendiri dan tidak memerlukan cermin dari luar untuk mengonfirmasi nilai-nilai kita.
Selain itu, penting juga untuk membangun lingkungan sekitar yang sehat, dalam arti dikelilingi oleh orang-orang yang suportif, yang menerima dan menghargai kita apa adanya, tanpa syarat. Hindari hubungan atau pergaulan yang justru membuat kita merasa perlu untuk terus-menerus membuktikan diri dan mencari persetujuan. Lingkungan yang positif akan menjadi ekosistem yang mendukung pertumbuhan validasi internal supaya kita merasa aman untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi atau ditolak.
“Kita semua menikmati pujian dan validasi eksternal. Namun, inti dari rasa puas kita harus datang dari dalam diri sendiri.” – Andrea Rosenhaft LCSW-R
Bacaan lebih lanjut:
- Arabi, Shahida. 2022. “Do You Seek Validation from Others? Here’s How to Stop”. Psych Central. Diakses 31 Januari 2025.
- Cherry, Kendra. 2024. “How To Stop People-Pleasing”. Verywell Mind. Diakses 31 Januari 2025.
- Franco, Marisa G. 2022. “The Power of Validation”. Psychology Today. Diakses 31 Januari 2025.
- Rosenhaft, Andrea. 2023. “Stop Relying on External Validation”. Psychology Today. Diakses 31 Januari 2025.