Sebelum azan magrib, bapak mengantar ibu ke gereja dekat rumah. Iya, hanya mengantar karena setelahnya, bapak pulang, mengambil wudu, lalu salat jemaah di musala. Selepas tahiyat akhir dan bersalam-salaman, bapak menjemput ibu.
“Selamat Natal,” kata bapak.
Saya tersenyum melihat pohon natal yang sudah dipancang di ruang tamu. Kami memasangnya ramai-ramai. Pohon yang tidak terlalu besar itu diselimuti lampu kelap-kelip. Saya tersenyum karena di pucuknya tidak ada hiasan bintang emas atau Bintang Betlehem. Ibu saya sendiri yang menggantinya dengan ornamen kaligrafi lafaz Allah. Saya tersenyum sebab merasa bersyukur, harmoni telah mengiringi perjalanan hidup saya sejak kecil.
Untungnya, ini hanya konsumsi pribadi–dan tentunya keluarga dekat. Om, tante, dan sepupu-sepupu bertamu ke rumah, menyantap makan malam bersama-sama, duduk santai sambil mengobrol di teras hingga larut. Just like the ones I used to know, where the treetops glisten and children listen. Pohon berkilauan, anak-anak berlarian, sesekali mendengarkan yang tua bercerita. Bapak mengambil gitar dan melantunkan “White Christmas”. Ruangan yang bernyanyi, tidak ada yang merasa dilecehkan.
Orang tua beda agama, lo nggak bingung harus ikut siapa? Banyak yang bertanya begitu. Jawabannya: tidak. Agama saya Islam, ikut bapak. Namun selama 12 tahun, saya belajar di sekolah Katolik. Menemani ibu misa di gereja kemudian pulangnya salat isya bareng bapak adalah hal biasa. Ketika takbir bergema di malam Lebaran, ibu menyiapkan opor ayam dan ketupat, juga memberikan hadiah berupa perlengkapan salat. “Ayo bangun. Salat id,” katanya besok, pagi-pagi.
Di sudut-sudut rumah, tidak pernah terdengar pertengkaran karena iman. Ke sekolah, ke gereja, ke masjid; lalu setiap orang memerankan fungsi manusianya masing-masing, yaitu mencintai dan membantu satu sama lain menjadi versi terbaik diri. Dari tangis bayi hingga menjelang mati, perbedaan tidak bisa dihindari. Justru memaksakan kehendak untuk jadi seragam malah tak jarang menimbulkan luka, bahkan berbuah baku hantam. Darah seolah dihalalkan untuk tumpah demi tujuan satu pintu. Padahal bahasa doa tak pernah tunggal. Kita makhluk plural.
Kini rumah sudah pindah. Usia mewarnai helai demi helai rambut mereka. Selain ingatan yang makin pudar dan dua cucu yang tambah besar, kebiasaannya masih sama: tukar kado, pohon natal ditegakkan, ibadah, makan bersama, ngobrol hingga lelah. Setelah 12 bulan penuh dengan episode yang bikin sakit kepala, ternyata masih ada hari-hari yang dapat dirayakan dengan sukacita dan kebahagiaan. Semoga kita semua begitu.
May your days be merry and bright.