Menjadi Manusia di dalam Burnout Society

Oleh

Aldi Wardhana

Menjadi Manusia di dalam Burnout Society

Saya sering membayangkan manusia modern sebagai seseorang yang berlari di treadmill tanpa tau bagaimana cara turun. Ia tidak sedang dikejar siapa pun, tetapi tetap berlari seolah ada sesuatu yang akan menyusul dari belakang. Kadang ia ingin berhenti, tetapi tubuhnya sudah

Oleh

Aldi Wardhana

28/11/2025

Saya sering membayangkan manusia modern sebagai seseorang yang berlari di treadmill tanpa tau bagaimana cara turun. Ia tidak sedang dikejar siapa pun, tetapi tetap berlari seolah ada sesuatu yang akan menyusul dari belakang. Kadang ia ingin berhenti, tetapi tubuhnya sudah terlalu terbiasa bergerak. Diam terasa seperti ancaman. Sunyi terasa seperti kegagalan kecil yang sulit dijelaskan kepada siapa pun. Kita hidup dalam semacam kecepatan yang diwariskan tanpa pernah benar-benar kita setujui.

Dalam pandangan Byung-Chul Han di buku The Burnout Society, ritme kehidupan seperti itu muncul dari apa yang ia sebut sebagai masyarakat pencapaian. Kita telah melewati era masyarakat disiplin, ketika larangan, institusi, dan struktur eksternal mengatur kehidupan manusia seperti pagar yang membatasi ruang gerak. Dunia hari ini berbeda. Pagar itu dibongkar bukan untuk membebaskan manusia, melainkan untuk menuntutnya bergerak lebih jauh. Tidak ada lagi pengawasan nyata dari luar. Tekanan kini bekerja dari dalam diri. Kita tidak lagi mengatakan saya harus, tetapi saya bisa. Kalimat yang terdengar membebaskan itu justru menjadi bentuk paksaan yang paling halus.

Peralihan ini melahirkan kelelahan yang sifatnya eksistensial. Burnout tidak muncul dari pekerjaan fisik yang berat, melainkan dari tuntutan psikologis untuk terus menjadi sesuatu yang lebih. Manusia merasa bebas, namun pada saat yang sama berubah menjadi penguasa dan budak bagi dirinya sendiri. Dorongan untuk terus mengoptimalkan diri, yang tampil sebagai motivasi, perlahan berubah menjadi cambuk tersembunyi yang menggerus batas alami tubuh dan pikiran.

Jika saya melihat sekeliling, bentuknya mudah ditemukan dalam budaya yang paling kasat mata hari ini, yaitu hustle culture. Sebuah keyakinan yang merayakan kesibukan sebagai kebajikan. Banyak orang tidak lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk mempertahankan citra bahwa dirinya selalu produktif. Mereka takut berhenti bukan karena tugas yang menumpuk, tetapi karena diam dianggap sebagai bentuk ketertinggalan. Dalam budaya seperti itu, nilai manusia tidak lagi diukur dari kemampuannya memahami dunia, melainkan dari seberapa cepat ia bergerak di dalamnya.

Tekanan ini diperkuat oleh apa yang Han sebut sebagai tuntutan positivitas. Dunia modern tidak suka batas. Segala hal harus bisa, harus mungkin, dan harus dilakukan. Kita dibesarkan oleh kalimat-kalimat yang terdengar membangkitkan seperti, “Kamu bisa menjadi apa saja” atau “Kamu bisa mencapai apa pun”. Namun di balik itu, tersembunyi tuntutan yang tidak pernah selesai. Ketika batas hilang, perjuangan tidak lagi memiliki garis akhir. Di titik ini saya teringat tulisan Arthur Schopenhauer dalam Parerga and Paralipomena, “Kerja, kekhawatiran, jerih payah, dan penderitaan adalah nasib hampir seluruh manusia sepanjang hidupnya.”

Internet mempercepat itu semua. Notifikasi menjadi panggilan halus yang terus mengingatkan bahwa kita harus hadir. Media sosial mengubah hidup menjadi serangkaian pembaruan cepat. Kesadaran kita menjadi terfragmentasi karena waktu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil yang tidak pernah cukup untuk menciptakan kedalaman. Ledakan informasi yang tiada henti membuat manusia sulit membedakan mana yang penting dan mana yang sekadar riak permukaan. Kita terkikis oleh rangsangan tanpa jeda yang memaksa diri untuk terus bereaksi.

Dalam kondisi seperti itu, keheningan menjadi sesuatu yang langka. Bahkan ketika kita tidak melakukan apa-apa, kepala kita tetap dihuni kegelisahan untuk bergerak, memperbarui, dan memperbaiki. Banyak orang tidak berhenti bukan karena tidak sempat, tetapi karena takut menghadapi ruang kosong yang muncul ketika kesibukan dihentikan. Keheningan dianggap sebagai kekurangan, bukan sebagai bagian penting dari ritme hidup. Kita lupa bahwa manusia tidak diciptakan hanya untuk bergerak. Manusia juga butuh berhenti, merenung, dan merasakan dirinya sendiri.

Saya sering berpikir bahwa kelelahan hari ini bukan sekadar soal kerja yang terlalu banyak. Kelelahan ini berbeda bentuknya. Ia lebih seperti kabut yang menempel pada kesadaran dan membuat kita sulit membedakan antara apa yang benar-benar diinginkan dan apa yang hanya dibisikkan oleh ritme zaman. Dalam masyarakat pencapaian, manusia mudah kehilangan dirinya tanpa disadari karena begitu banyak hal di luar diri yang dijadikan standar untuk menilai hidup.

Saya tidak ingin menutup tulisan ini dengan ajakan untuk lebih hadir, lebih perlahan, atau lebih tenang. Nasihat semacam itu sering hanya menjadi tugas tambahan yang memperpanjang daftar kewajiban. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kelelahan yang kita rasakan bukanlah kelemahan. Bukan tanda bahwa kita kurang disiplin, kurang termotivasi, atau kurang kuat. Kelelahan ini adalah gejala dari struktur sosial yang perlahan membuat kita lupa bagaimana menjadi manusia. Manusia memiliki batas, memiliki ritme, dan membutuhkan ruang untuk berhenti sejenak.

Barangkali benar kata Han, “Hanya dengan berhenti sejenak, kita bisa mendengar suara jiwa yang sudah terlalu lama dibungkam oleh deru mesin kapital.”

Aldi Wardhana

Aldi merupakan Creative Content Writer di The Maple Media sekaligus penulis lepas yang berkarya di beragam bentuk kepenulisan. Ia meracik kata-kata yang bergerak di antara kedalaman naratif dan kejernihan strategis, mulai dari esai, prosa fiksi, dan resensi hingga narrative advertising. Baginya, menulis adalah cara menemukan nada yang tepat agar sebuah gagasan dapat bertemu dengan pembacanya.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga