Menulis di Industri yang Lebih Cepat daripada Merebus Mi Instan

Kita buat formula-formula taktis untuk bisa instan. Hasilnya adalah katalog hasil kerja tanpa makna.

Oleh

Yudhistira

Menulis di Industri yang Lebih Cepat daripada Merebus Mi Instan

Kita buat formula-formula taktis untuk bisa instan. Hasilnya adalah katalog hasil kerja tanpa makna.

Oleh

Yudhistira

21/11/2025

Dalam seminggu, berapa kali kita makan mi instan?

Ketika tidak ada makanan apa pun di rumah, kita makan mi instan. Sewaktu harus menepi di warkop karena hujan deras, kita makan mi instan. Atau pas lagi mau memuaskan nafsu lidah, kita makan mi instan. Memang lebih baik makan apa pun yang layak dimakan daripada asam lambung naik pitam akibat terlalu lama menanti protein. Ini soal pertahanan, urusan perut.

Air di panci belum mendidih. Kita juga masih mencari gunting untuk memotong kemasan bumbu yang licin. Tapi, sebuah tulisan sudah matang lebih dulu sebelum mi instan siap disantap. Ini juga soal pertahanan, tentang adaptasi kecepatan di era digital dan algoritma.

Dalam seminggu, berapa kali kita minta dibuatkan tulisan instan?

Sekarang ini makin banyak konten Instagram yang basisnya tulisan, formatnya carousel lebih dari 3 slide, topiknya beragam. Sesekali kita dikejutkan dengan rima yang cantik. Tidak ada typo. Paragrafnya padu, wacananya koheren. Semua rapi, sempurna, sekaligus membosankan. Kita mengenalnya dengan istilah tulisan yang generik.

Klik, tik perintah, thinking; satu-dua deadline terlampaui.

Sistem kerja yang suka melecut pekerjanya sampai batas maksimal bukannya memicu tumbuh, malah menjerumuskan otak ke sisi yang paling tumpul. Kita gelagapan dengan perasaan diri sendiri: gimana ya cara nulisnya? dan makin asing dengan cara menumpahkan kalimat pertama pada halaman kosong: mulai dari mana ya? Mesin mengambil kendali sebagai si paling paham, memberikan solusi yang rencananya kita andalkan sementara. Maklum, kepepet. Tapi esok, karena dunia belum berubah, kita menerapkan hal yang sama. 

Kini, ketajaman pembuatan prompt dinilai sebagai kompetensi untuk mengisi posisi kerja. Dengan begitu, perusahaan punya justifikasi untuk menambah beban tugas. Ada cerita dari Rachma, seorang penerjemah subtitle film. Menurutnya, proses penerjemahan film dokumenter membutuhkan tiga orang: juru bahasa sebagai penerjemah, editor video yang memasukkan hasil penerjemahan, dan produser sebagai supervisor. Tapi Rachma harus bekerja sendirian karena atasannya percaya bahwa AI bisa menambal tenaga manusia dalam menerjemahkan subtitle. Sudah hasilnya tak menentu, beban kerja Rachma bertambah.

Banyak perusahaan mengimplementasikan pola serupa. Ada Rachma lain dalam berbagai nama yang digenjot untuk terus produktif. Jumlah konten melonjak, banjir di mana-mana. Kita tau bahwa mutu membutuhkan waktu. Tapi, kita harus cepat. Yang penting kelar. Kita buat formula-formula taktis untuk bisa instan. Maka hasilnya adalah katalog hasil kerja tanpa makna. Tayang tepat waktu dengan engagement rendah karena semuanya terlihat sama dan algoritma memeluknya. Di industri yang lebih cepat daripada merebus mi instan, pekerja merasa tidak belajar apa-apa sekaligus termangu di depan halaman kosong berikutnya yang harus segera dipenuhi.

Membosankan, checked. Membuat tumpul, checked. Merenggut kepuasan batin, checked. Merusak alam, checked. AI dan pusat datanya membutuhkan air segar dalam skala besar untuk mendinginkan server. Semua memang ada harganya. Namun, tidak pernah saya bayangkan akan semahal ini.

“AI can replicate, but can it yearn? Can an algorithm understand the weight of a glance between two people who can’t express their feelings? Can code capture the way memory distorts and reshapes our past?”

Wong Kar-wai

Can it yearn? Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, apakah Wall-E punya perasaan? Cintakah Bumblebee kepada Sam?

Mesin–yang tidak bisa merasakan ngilu karena patah hati–gagal memahami manusia yang lompat dari balkon apartemen, tidak mampu berempati atas saldo yang tipis sehingga kita harus makan mi instan, tidak pernah tau bahwa buruh tersiksa untuk menggunakannya. Untuk bangun perlahan lalu satu per satu menata kembali ketegaran hidup pun, mereka tidak mengerti.

Saya merindukan tulisan yang berantakan atau susunan kalimat kikuk dari penulisnya yang baru saja mengalami kejadian aneh. Kadang ada pula paragraf yang terasa seperti napas tersengal. Mungkin kita sebal karena si penulis lompat jauh dari ide satu menuju ide lainnya. Siapa pun pernah kewalahan menata isi kepalanya sendiri. Suatu waktu, kita merasakan sakitnya kehilangan dalam sebuah obituari yang terbata-bata.

Tulisan-tulisan itu rentan, tidak sempurna, bahkan kerap merupakan akumulasi dari perasaan-perasaan yang belum tuntas dikenali. Prosesnya pelan, jauh lebih lama daripada merebus mi instan. Mungkin waktu bukan barometer pasti untuk sebuah mutu. Tapi, setidaknya, ini menjadi hal menyenangkan dan memuaskan yang bisa dikerjakan dengan keringat kita sendiri.

Yudhistira

Orang biasa yang suka menulis.

Bagikan:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp

Lihat Juga