Bulan September ini, tujuh tahun silam, Kunto Aji resmi merilis album Mantra Mantra. Sampai sekarang, album yang berisi sembilan lagu ini selalu punya tempat tersendiri di hati saya. Lagu-lagu di dalamnya berhasil meluluhlantakkan–dalam arti positif–hati pendengar dengan berbagai emosi.
Terlebih, saya memiliki cerita istimewa tentang seseorang yang begitu menyukai lagu-lagu Kunto Aji, khususnya album Mantra Mantra itu sendiri. Dia seorang teman yang selalu mencurahkan perhatian tulus kepada orang-orang di sekitarnya, yang selalu hadir sebagai sosok yang ceria dan penuh warna; dia yang kini telah beristirahat dengan damai di atas sana.
Masih banyak yang belum sempat
Kunto Aji – Pilu Membiru
Aku sampaikan padamu.
Dulu, saya kira lagu “Pilu Membiru” adalah tentang perpisahan getir dari dua orang yang saling mencintai. Tapi, lebih dari itu, lagu ini juga menggambarkan kerinduan; tentang seseorang yang tak lagi bisa ditemui di dunia nyata dan penyesalan akan hal-hal yang tak sempat diungkapkan dengan kata-kata. Seperti judulnya, “Pilu Membiru” membungkus duka perpisahan dengan menyayat hati. Kini, setiap mendengarkan lagu ini, saya akan selalu teringat dengan sosoknya yang pergi meninggalkan kami semua, tepat di hari ulang tahun saya.
Mantra Mantra yang Menyelamatkan Banyak Jiwa
Tak berlebihan rasanya jika mengatakan bahwa album Mantra Mantra telah menyelamatkan banyak jiwa. Seperti namanya, album ini seolah merangkul banyak orang di titik-titik terendah hidupnya. Lirik yang hangat dan menenangkan menjadi pengingat sederhana untuk kembali menyayangi diri sendiri di tengah badai dan karam kehidupan yang datang silih berganti.
Ragam gejolak emosi dan kebimbangan dalam album ini menyiratkan pesan tentang pentingnya menerima, melepaskan, dan memaafkan. Mantra Mantra adalah perjalanan batin; bahwa yang sebaiknya kita jaga adalah diri sendiri; hidup ini selalu pantas untuk diperjuangkan.
Tidak sedikit warganet yang menuliskan pengalaman mereka di X dan Instagram: bagaimana “Pilu Membiru” membantu mereka melewati masa berduka, atau “Konon Katanya” yang menjadi pengingat halus di fase pencarian jati diri. Album ini juga menyelamatkan banyak orang menghadapi masa-masa sulit saat pandemi. Mantra mantra menjelma “mantra kolektif” yang mempertemukan banyak orang dalam ruang perasaan yang sama; sendiri, namun tidak benar-benar sendirian.
Musik sebagai Ruang Menuju Lebih Baik
Ada kaitan antara musik dan psikologi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa musik dapat berfungsi sebagai terapi emosi, irama dan lirik dapat menstimulasi amigdala dan hippocampus: bagian otak yang mengatur memori dan emosi. Itu sebabnya musik sering kali memunculkan kembali kenangan akan momen tertentu dan membantu seseorang mengolah perasaan yang sulit diungkapkan.

Dalam bukunya, How Music Works (2012), David Byrne menulis: “Music tells us things–social things, psychological things, physical things about how we feel and perceive our bodies–in a way that other art forms can’t.”
Barangkali hal ini juga yang mendasari keputusan Mas Kun untuk berkolaborasi dengan Adjie Santosoputro, seorang praktisi mindfulness, dalam konser tunggal Mantra Mantra Live ++ pada 2019. Berlokasi di Hall Basket Senayan, Gelora Bung Karno Jakarta, konser ini membawa pengalaman baru dalam mendengarkan lagu-lagu dari album Mantra Mantra sebagai media penyembuhan batin lewat perpaduan musik, visual, dan praktik mindfulness.
Di beberapa momen, Mas Adjie mengajak penonton untuk menarik napas dalam, menutup mata, dan memeluk diri sendiri sebelum Kunto Aji membawakan lagu tertentu. Saat “Rehat” dilantunkan, banyak penonton yang menangis. Mereka seperti menemukan ruang yang akhirnya bisa menerima luka-luka terpendam. Sebuah album musik memang bisa melampaui musik itu sendiri. Mantra Mantra bukan tabib, tapi menyediakan ruang transisional; dari terpendam menjadi terungkap, penolakan berangsur pengakuan, luka menuju pulih. Mantra Mantra tidak sempurna, tapi mungkin menyelamatkan nyawa. Konsernya membuka kemungkinan baru: bukan sekadar pesta, melainkan celah-celah kecil yang membawa harapan baik dalam hidup.
Album yang Tetap Relevan

Tujuh tahun telah berlalu, Mantra Mantra masih relevan sampai hari ini. Kesehatan mental makin terbuka dibicarakan, Mantra Mantra hadir sebagai ruang refleksi kolektif. Mungkin, inilah kenapa album ini begitu personal bagi banyak orang, termasuk saya sendiri, karena setiap lagunya mencerminkan fase perjalanan hidup manusia, dari jatuh, kehilangan, kegelisahan, hingga bangkit dan menemukan kembali makna hidup.
Pada akhirnya, Mantra Mantra bukan hanya tentang Kunto Aji dan kisah di balik lagunya. Album ini adalah tentang kita semua; tentang bagaimana manusia belajar berdamai dengan luka, merayakan hidup apa adanya, dan terus melangkah di tengah segala kebimbangan yang mendera.