Tidak sedikit pekerja kreatif yang memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk membantu tugas sehari-hari. Mulai dari membuat caption, mencari referensi, minta merancang copy, bahkan menjadi temen diskusi; sesering itu kita menggunakan chatgpt dan kawan-kawannya.
Kita tuliskan prompt, biar mereka yang berpikir lebih keras.
Seperti otot yang loyo karena tidak rutin dilatih, apakah terlalu bergantung dengan AI bisa membuat daya pikir kita jadi tumpul?
Penelitian “AI Tools in Society: Impacts on Cognitive Offloading and the Future of Critical Thinking” (2025) bilang bahwa keberadaan AI yang memberikan solusi kilat bisa membuat penggunanya malas “hadir” dalam proses kognitif yang penting bagi daya berpikir secara kritis.
Kita seperti tidak terlibat di dalam proses diri kita sendiri, sedih sekali.
Bukan soal kritis aja. Cognitive offloading terjadi ketika seorang individu bertumpu pada alat eksternal untuk melalukan tugas kognitif, mengurangi porsi individu tersebut untuk berpikir dengan reflektif. Padahal kritis dan reflektif itu yang bikin kita berbeda dari robot.
Sederhananya gini, berpikir secara kritis berhubungan dengan perkembangan kognitif sehingga kita bisa memproses informasi dengan efektif dan akhirnya masuk ke fase berpikir reflektif.
Ini berpengaruh juga terhadap kemampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan.
Pada akhirnya, AI adalah alat bantu. AI bukan teman dekat, apalagi pengganti untuk berpikir kritis, berkreasi, dan berinovasi. Solusinya tentu kemauan dalam diri untuk memanfaatkan AI secukupnya. Jangan sampai kecanduan.
Bacaan lebih lanjut: Gerlich M. 2025. “AI Tools in Society: Impacts on Cognitive Offloading and the Future of Critical Thinking”. Dalam Jurnal Societies, Volume 15(1):6.